Utang Negara dan Risiko Fiskal: Antara Kebutuhan Pembangunan dan Kemandirian Ekonomi

Siaran Satu

12 Nov, 2025

Utang negara selalu menjadi topik hangat dalam pembahasan ekonomi dan kebijakan publik.
Sebagian pihak menilai utang adalah alat penting untuk membiayai pembangunan, sementara sebagian lain menganggapnya beban yang dapat mengancam stabilitas fiskal jangka panjang.
Kenyataannya, keduanya benar — tergantung bagaimana utang dikelola.

Tantangan utama pemerintah saat ini adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembiayaan pembangunan dan kemandirian ekonomi nasional.

Pemerintah berutang bukan semata karena kekurangan dana, tetapi untuk menjembatani kesenjangan antara pendapatan dan belanja negara.
Utang digunakan untuk:

Mendanai proyek infrastruktur strategis, seperti jalan tol, bendungan, dan transportasi publik.
Membiayai program sosial, seperti subsidi, pendidikan, dan kesehatan.
Menjaga stabilitas fiskal ketika penerimaan pajak belum optimal.

Selama utang digunakan untuk aktivitas produktif yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi, maka utang tersebut dianggap sehat.

Dalam beberapa tahun terakhir, total utang pemerintah Indonesia meningkat seiring dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan dan dampak pandemi global.
Meskipun demikian, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah ambang batas aman 60%, sesuai ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.

Pada 2025, pemerintah berupaya menjaga rasio utang di kisaran 38–40% dari PDB, dengan strategi pembiayaan yang hati-hati dan terukur.

Di balik manfaatnya, utang negara juga membawa risiko fiskal yang perlu diwaspadai, terutama jika tidak dikelola dengan baik.
Beberapa risiko utama meliputi:

Risiko Pembayaran (Debt Servicing): meningkatnya beban bunga yang harus dibayar setiap tahun.
Risiko Nilai Tukar: utang luar negeri yang tinggi membuat APBN rentan terhadap fluktuasi kurs.
Risiko Pembiayaan Ulang (Refinancing Risk): ketika jatuh tempo utang besar, sementara penerimaan negara tidak cukup kuat.
Risiko Kebijakan: ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dapat membatasi ruang fiskal dan kebijakan ekonomi nasional.

Jika digunakan secara produktif, utang negara sebenarnya bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan teknologi dapat meningkatkan daya saing nasional, memperluas lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan jangka panjang.

Namun, jika utang digunakan untuk pembiayaan konsumtif atau subsidi yang tidak tepat sasaran, maka manfaatnya hanya bersifat sementara dan bisa menimbulkan tekanan fiskal di masa depan.

Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat manajemen utang melalui kebijakan yang terukur dan transparan.
Beberapa langkah utama yang ditempuh antara lain:

Diversifikasi sumber pembiayaan, termasuk melalui obligasi domestik dan pembiayaan syariah (Sukuk Negara).
Memperpanjang tenor utang, untuk mengurangi tekanan pembayaran jangka pendek.
Meningkatkan rasio penerimaan negara, terutama lewat reformasi pajak 2025.
Mendorong partisipasi sektor swasta, agar pembiayaan pembangunan tidak hanya bergantung pada APBN.

Langkah-langkah ini bertujuan agar Indonesia tetap berdaulat secara fiskal, tanpa kehilangan momentum pembangunan.

Kemandirian ekonomi bukan berarti tanpa utang sama sekali, melainkan mampu mengelola utang secara bijak dan berkelanjutan.
Pemerintah perlu menyeimbangkan antara pembiayaan pembangunan jangka panjang dan stabilitas fiskal jangka pendek.

Selain itu, meningkatkan penerimaan pajak, efisiensi belanja, dan tata kelola keuangan negara yang transparan menjadi kunci agar utang benar-benar menjadi alat untuk memperkuat, bukan membebani ekonomi.